A. DEFINISI
Inflamasi merupakan respons protektif setempat yang ditimbulkan oleh cedera
atau kerusakan jaringan, yang berfungsi menghancurkan, mengurangi, atau
mengurung (sekuestrasi) baik agen pencedera maupun jaringan yang cedera itu
(Dorland, 2002).
Apabila jaringan cedera misalnya karena terbakar, teriris atau karena
infeksi kuman, maka pada jaringan ini akan terjadi rangkaian reaksi yang
memusnahkan agen yang membahayakan jaringan atau yang mencegah agen menyebar
lebih luas. Reaksi-reaksi ini kemudian juga menyebabkan jaringan yang cedera
diperbaiki atau diganti dengan jaringan baru. Rangkaian reaksi ini disebut
radang (Rukmono, 1973).
Secara garis besar, peradangan ditandai dengan vasodilatasi pembuluh darah
lokal yang mengakibatkan terjadinya aliran darah setempat yang berlebihan,
kenaikan permeabilitas kapiler disertai dengan kebocoran cairan dalam jumlah
besar ke dalam ruang interstisial, pembekuan cairan dalam ruang interstisial
yang disebabkan oleh fibrinogen dan protein lainnya yang bocor dari kapiler
dalam jumlah berlebihan, migrasi sejumlah besar granulosit dan monosit ke dalam
jaringan, dan pembengkakan sel jaringan. Beberapa produk jaringan yang
menimbulkan reaksi ini adalah histamin, bradikinin, serotonin, prostaglandin, beberapa
macam produk reaksi sistem komplemen, produk reaksi sistem pembekuan darah, dan
berbagai substansi hormonal yang disebut limfokin yang dilepaskan oleh sel T
yang tersensitisasi (Guyton & Hall, 1997).
B. TANDA-TANDA RADANG (MAKROSKOPIS)
Gambaran makroskopik peradangan sudah diuraikan 2000 tahun yang lampau.
Tanda-tanda radang ini oleh Celsus, seorang sarjana Roma yang hidup pada abad
pertama sesudah Masehi, sudah dikenal dan disebut tanda-tanda radang utama.
Tanda-tanda radang ini masih digunakan hingga saat ini.
Tanda-tanda radang mencakup rubor (kemerahan), kalor (panas),
dolor (rasa sakit), dan tumor (pembengkakan). Tanda pokok yang
kelima ditambahkan pada abad terakhir yaitu functio laesa (perubahan
fungsi) (Abrams, 1995; Rukmono, 1973; Mitchell & Cotran, 2003).
1. Rubor (kemerahan)
rubor atau kemerahan merupakan hal pertama
yang terlihat di daerah yang mengalami peradangan. Saat reaksi peradangan
timbul, terjadi pelebaran arteriola yang mensuplai darah ke daerah peradangan.
Sehingga lebih banyak darah mengalir ke mikrosirkulasi lokal dan kapiler
meregang dengan cepat terisi penuh dengan darah. Keadaan ini disebut hiperemia
atau kongesti, menyebabkan warna merah lokal karena peradangan akut (Abrams,
1995; Rukmono, 1973).
2. Kalor (panas)
Kalor terjadi
bersamaan dengan kemerahan dari reaksi peradangan akut. Kalor disebabkan pula
oleh sirkulasi darah yang meningkat. Sebab darah yang memiliki suhu 37oC
disalurkan ke permukaan tubuh yang mengalami radang lebih banyak daripada ke
daerah normal (Abrams, 1995; Rukmono, 1973).
3. Dolor (rasa sakit)
Perubahan pH lokal
atau konsentrasi lokal ion-ion tertentu dapat merangsang ujung-ujung saraf.
Pengeluaran zat seperti histamin atau zat bioaktif lainnya dapat merangsang
saraf. Rasa sakit disebabkan pula oleh tekanan yang meninggi akibat
pembengkakan jaringan yang meradang (Abrams, 1995; Rukmono, 1973).
4. Tumor (pembengkakan)
Pembengkakan
sebagian disebabkan hiperemi dan sebagian besar ditimbulkan oleh pengiriman
cairan dan sel-sel dari sirkulasi darah ke jaringan-jaringan interstitial.
Campuran dari cairan dan sel yang tertimbun di daerah peradangan disebut
eksudat meradang (Abrams, 1995; Rukmono, 1973).
5. Function leasa
Berdasarkan asal
katanya, functio laesa adalah fungsi yang hilang (Dorland, 2002). Functio laesa
merupakan reaksi peradangan yang telah dikenal. Akan tetapi belum diketahui
secara mendalam mekanisme terganggunya fungsi jaringan yang meradang (Abrams,
1995).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar